Pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan tentu memiliki tujuan dan manfaat tertentu yang akan dicapai. Pertama, pembatasan kekuasaan, agar jabatan kekuasaan tidak dipangku oleh seseorang atau sekelompok orang dalam waktu yang tidak terbatas. Kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak terevaluasi berpotensi melahirkan pejabat tirani dan otoriter yang pada akhirnnya menggunakan kekuasaan itu dengan melanggar konstitusi demokratik seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kedua, sebagai landasan dan basis legitimasi bagi pejabat-pejabat publik dalam menjalankan kekuasaan atau kebijakannya secara efektif karena di dukung oleh mayoritas rakyat. Ketiga, sebagai instrumen bagi rakyat untuk evaluasi akuntabilitas penggunaan mandat politik yang diberikan rakyat kepada pejabat-pejabat publik baik legislatif maupun eksekutif pada Pemilu atau Pemilihan sebelumnya. Ketika para pejabat ini tidak merepresentasikan janji politik dan tidak berupaya mewujudkan tujuan demokrasi pada jabatan kekuasaan sebelumnya maka rakyat berhak mengevaluasi dengan tidak memilihnya dan/atau memilih kembali pada pelaksanaan Pemilu atau Pemilihan berikutnya.
Pemilu dan Pemilihan juga merupakan sarana mewujudkan keterwakilan politik baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Hal ini merujuk pada fakta bahwa masyarakat itu plural terdiri dari berbagai suku, ras, etnis, bahasa, ideologi dan agama yang berbeda. Pluralitas tersebut harus tercermin dalam lembaga-lembaga politik yakni prosesnya diramaikan oleh keberagaman masyarakat melalui mekanisme elektoral yang bebas dan adil. Lebih lanjut, Pemilu dan Pemilihan juga merupakan sarana integrasi nasional yang menyatukan segala perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat melalui wakil-wakil mereka. Proses elektoral menyalurkan segala potensi perbedaan dan pertentangan dalam masyarakat ke kandidat sebagai delegasi mereka pada institusi politik dengan sendirinya secara alami mewujudkan integrasi karena segala perbedaan kepentingan telah terwakili oleh wakil-wakil mereka dilembaga-lembaga politik.
Selain itu, baik regulasi, sistem Pemilu dan Pemilihan, prosedur pelaksanaan, administrasi serta penyelenggara yang melaksanakannya senantiasa terikat secara totalitas pada prinsip dan standar Pemilu demokratik pada setiap tahapannya. Hal ini untuk menjamin proses elektoral yang bebas, setara, transparan, adil dan akuntabel dalam menghasilkan pejabat-pejabat publik yang menduduki jabatan politik di lembaga legislatif maupun eksekutif, walau dalam beberapa segi terdapat kekurangan. Namun demikian, sejauh pengalaman pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan di Indonesia, bahwa sistem, kerangka hukum dan manajemen Pemilu maupun Pemilihan senantiasa dievaluasi dan diperbaiki, saat ini sangat kecil kemungkinan ada celah atau peluang bagi kecurangan yang Terstruktur, Sistematis dan Masif, kecuali ada oknum penyelenggara yang melaksanakan tugasnya tidak profesional dengan mengabaikan asas Pemilu dan Pemilihan demokratik atau kode etik penyelenggara yang telah diatur dalam hukum dan peraturan kepemiluan. Bahkan keadaan demikian pun tentu tidak akan luput dari sistem pengawasan baik dari penyelenggara Badan Pengawas Pemilu dan Pemilihan, Civil Society maupun masyarakat karena Pemilu dan Pemilihan dilaksanakan secara transparan dan aksesibel, apalagi dengan keterbukaan teknologi informasi seperti saat ini.
Dengan demikian, Pemilu dan Pemilihan memiliki urgensitas dalam melahirkan dan membentuk sistem politik kekuasaan yang menjamin terselenggaranya rezim pemerintahan berjalan sesuai konstitusi demokratik. Dalam hal terdapat pembatasan kekuasaan bahwa kekuasaan tersebut telah terbagi secara vertikal dan horizontal dengan otoritas yang dibatasi dimana setiap institusi politik itu saling mengawasi, menjamin tersedianya kandidat yang akan menjadi wakil pada semua level baik pada kekuasaan politik maupun birokrasi, membentuk pemerintahan yang legitimate dihadapan rakyat, serta menyatukan ragam potensi pada struktur dan dimensi sosial yang berbeda menuju pada visi bersama dalam membangun kebangsaan.
Mengenai legitimasi sebagai salah satu tujuan Pemilu dan Pemilihan dan sebagai subyek penting kekuasaan yang menjadi dasar otoritas para pejabat publik untuk menjalankan kekuasaan dan membuat undang-undang, peraturan atau keputusan bagi rakyat, Magnis Suseno membaginya menjadi tiga macam bentuk yaitu legitimasi religious, legitimasi elite dan legitimasi demokratis.
Pertama, legitimasi religious menekankan bahwa sang penguasa merupakan representasi kekuatan ilahi sehingga wewenangnya tidak dapat diganggu gugat dan tidak ada pertanggung jawaban dihadapan rakyat. Tidak ada tuntutan agar kekuasaannya dijalankan sesuai norma-norma tertentu. Bentuk legitimasi kekuasaan semacam ini telah berakhir satu dekade lalu, namun saat ini bukan tidak mungkin terdapat sejumlah pejabat publik yang berwatak demikian dengan bersikap angkuh dan membenarkan dirinya sendiri.
Kedua, legitimasi elite dengan pengertian bahwa hanya kelompok tertentu terutama yang memiliki keahlian yang berhak atas kekuasaan seperti kalangan aristokrat, pragmatis, ideolog, dan kaum teknokrat. Legitimasi eliter dapat membentuk wajah demokrasi menjadi oligarki dimana kekuasaan politik dan ekonomi dikendalikan sekelompok kecil (umumnya mereka yang memiliki kekuatan capital atau konglomerat) dan golongan elit partai. Mirisnya, golongan elit ini juga terdiri dari petinggi partai politik itu sendiri berimbas pada dinamika internal partai serta proses elektoral yang tidak sehat dan pada situasi tertentu membentuk wajah pemerintahan hasil Pemilu dan Pemilihan yang oligarkis. Bisa dikatakan bahwa partai politik kita saat ini masih memiliki wajah aristokratis dan tidak dikelola secara demokratis. Kaum oligarkis ini oleh Sidney Webb digambarkan sebagai kelompok yang menjadikan jabatan-jabatan politik kekuasaan sebagai lapangan kerjanya.
Ketiga, legitimasi demokratis yang berdasarkan kedaulatan rakyat menekankan bahwa kekuasaan merupakan mandat dari kuasa rakyat untuk mengatur segala hajat hidupnya. Kekuasaan disahkan secara demokratis atau bersumber dari legitimasi demokratis dalam hal bahwa kekuasaan itu bersumber dari rakyat, mereka menyerahkan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang menduduki institusi-institusi politik untuk menjadi pejabat publik dan mereka akan dituntut pertanggungjawaban atas kekuasaan yang diembannya. Kekuasaan dijalankan berdasarkan legalitas dimana kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan penguasa dibawah kendali hukum. Disini perlu ditekankan, bahwa kekuasaan dalam bentuk apa pun tidak boleh membenarkan segala tindakannya dengan pengandaian bahwa tindakan itu sesuai hukum yang berlaku walau penguasa semacam ini telah memenuhi prinsip legitimasi demokratis dan terpilih melalui proses elektoral. Penggunaan kekuasaan harus adil dengan mengedepankan hak asasi manusia.
Pemilu dan Pemilihan yang kita laksanakan merupakan pengejawantahan dari legitimasi demokratis yang telah didesain sedemikian rupa berdasarkan kerangka hukum yang konstitusional demi melahirkan pejabat-pejabat publik demokrat pada institusi-institusi kekuasaan. Legitimasi demokratis sebagai subyek penting kekuasaan telah dipraktikkan oleh mayoritas negara demokrasi modern. Pemilu dan Pemilihan di Indonesia pasca reformasi 1998 hingga saat ini mengaplikasikan bentuk legitimasi demokratis yang sesungguhnya. Hubungannya dengan kekuasaan, legitimasi demokratis membentuk struktur kekuasaan yang transparan, akuntabel dan tidak anti kritik. Menghidupkan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan, persamaan dihadapan hukum, inklusif, gotong royong, dan sikat saling menghormati.
Pemilu, Pemilihan dan apa yang dihasilkan berupa pejabat-pejabat publik harus dipahami memiliki ketersambungan, tidak boleh terputus ketika para pejabat ini telah menduduki kursi kekuasaan. Dalam artian bahwa Pemilu dan Pemilihan telah mampu melahirkan mereka sehingga mendapatkan legitimasi dari mayoritas rakyat, maka apa yang mereka pikirkan tentang kebaikan dan keburukan pada diri mereka sendiri juga memikirkan hal yang sama dalam memperlakukan rakyat dalam setiap keputusan dan kebijakan politik.
Para ilmuwan dan filsuf politik menekankan pentingnya menegakkan dan melaksanakan kekuasaan dengan mengedepankan moralitas, dalam artian para pejabat publik paling tidak telah memahami baik dan buruk suatu keputusan terhadap rakyat, karena keputusan itu akan menjadi hukum yang memaksa. Para pejabat publik ini mengetahui bahwa apa yang baik itu adalah sesuatu yang jika mungkin dapat dinikmati oleh semua orang atas dasar persamaan. Mereka tidak menganggap diri sebagai pangeran atau permaisuri namun menganggap diri sebagai manusia. Cukuplah para pejabat ini memiliki rasa simpati dalam dirinya. Menurut Bertrand Russell, simpati sebagai suatu emosi naluriah merupakan kekuatan universal dalam etika.
Menurutnya, penguasa yang memiliki etika akan mengutamakan dua hal dalam pikiran dan tindakannya, di satu sisi mereka menghargai unsur-unsur tertentu dalam kehidupan mereka sendiri, dan pada sisi yang lain mereka simpati membuat mereka menginginkan bagi orang lain apa yang diinginkannya bagi dirinya sendiri. Apakah para pejabat yang dilahirkan dalam Pemilu dan Pemilihan memiliki simpati terhadap rakyat yang dipimpinnya?
Secara moral, dalam legitimasi etis kekuasaan, tentu para pejabat ini memiliki hak moral mempergunakan kekuasaan yang dimilikinya dan dalam penggunaan instrument kekuasaan tersebut tetap memperhatikan eksistensi rakyat dengan segala keinginan dan pertimbangannya tidak dapat diabaikan. Rakyat sebagai sumber dan elemen penting adanya kekuasaan secara asasi disana terdapat tuntutan pertanggungjawaban. Magnis Suseno menegaskan bahwa kekuasaan dianggap sah apabila kekuasaan dijalankan sesuai hukum yang berlaku atau apa yang telah disepakati sebagai rule of law dalam artian kekuasaan tidak lagi legitimate ketika tindak tanduk sang penguasa dan para pejabat tidak sesuai konstitusi atau hukum. Kekuasaan juga tidak bertentangan dengan prinsip dasar moral, dalam hal kekuasaan dapat diperoleh dan digunakan secara baik dan tidak baik. Terdapat pertimbangan etis tentang kebaikan dan keburukan dalam penggunaan instrument kekuasaan, sehingga setiap keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh para pejabat perlu dipandang memiliki nilai kebaikan walau pada sisi yang lain perspektif kelompok lainnya memandang kurang baik.
Para pejabat terpilih ini memiliki tugas dan tanggungjawab menjamin kesejahteraan umum dan secara khusus terhadap mayoritas rakyat seperti yang lemah, yang tidak memiliki pekerjaan, kurang berpendapatan bahkan miskin, yang terbelakang secara intelektual, terisolir dan tertinggal dalam pembangunan. Kekuasaan dibentuk dan para pejabat publik ini dipilih untuk melayani menyelesaikan persolan rakyat. Sebagai pejabat publik yang diamanahkan oleh rakyat untuk mengatur segala urusan yang berkaitan hajat hidup bersama, para pejabat telah diberi sejumlah fasilitas mewah untuk menunjang kinerjanya. Mereka harus menempatkan diri sebagai pelayan, bukan sebaliknya menjadi tuan yang harus dilayani. Dan jabatan yang di sandangnya merupakan jabatan publik pemberian rakyat melalui Pemilu dan Pemilihan dengan tujuan tertentu yang terpampang dalam program visi misi saat kampanye politik.
Penjelasan singkat diatas ingin mendudukkan kembali perspektif kita dan semua pihak yang terlibat dalam hajatan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024, bahwa Pemilu dan Pemilihan tidak semata untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, yang menghabiskan anggaran begitu besar, terlepas bahwa pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan juga menguntungkan secara ekonomi karena hampir tujuh puluh persen dana tersebut kembali ke rakyat seperti dalam pembiayaan badan ad hoc dan lainnya.
Merebut dan mempertahankan kekuasaan tidak semata untuk unjuk kekuatan seseorang, klan keluarga atau kelompok, dan partai politik demi menunjukkan superioritas, kedudukan sosial, kekayaan, dan prestise. Namun, jabatan-jabatan publik tersebut harusnya mengupayakan terwujudnya tujuan dan cita-cita demokrasi seperti kesetaraan, persamaan dihadapan hukum, kebebasan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Tujuan bersama tersebut terrepresentasi dalam rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah nasional maupun daerah kemudian diejawantahkan dalam program visi misi kandidat. Apakah nilai-nilai tersebut menjadi tujuan dan motif para pejabat terpilih dalam melaksanakan kebijaksanaan kekuasaannya sesuai program visi misi dan janji politiknya walau hanya pada beberapa segi program pembangunan? Atau malah pura-pura tidak tau tentang program pembangunan nasional dan daerah bahkan tersandera pada kepentingan politik tertentu sehingga tidak mampu mewujudkan tujuan dan cita-cita bersama tersebut? (*)