(Akademisi Fishum Uniera)
Praktek berpolitik di era yang serba digital ini makin bising dengan berbagai persaingan pasca PEMILU 2024 yang di tunjukkan oleh para kandidat lewat rayuan pantun, slogan yang di adaptasi mengikuti perkembangan generasi Z (Gen Z) sesuai jiwa anak zaman now, poster para kandidat yang di edit sedemikian rupa dengan bantuan AI agar para pasangan calon terlihat good looking, perang “like or dislike” kandidat (siapa lebih di sukai, siapa lebih populer), Pembuatan lagu dengan lirik kampanye pasangan calon yang easy listening, serta melibatkan penyanyi-penyanyi muda yang di minati oleh masyarakat, joget-joget dengan musik dan gaya kekinian yang di buat supaya viral, semuanya dengan mudah di dapati pada platform-platform media sosial seperti Facebook, Instagram dan TikTok. Masing-masing pasangan calon memiliki fanpage yang di pegang oleh tim sukses (Cyber army) ataupun relawan yang memposting setiap kegiatan kampanye dari masing-masing pasangan calon, ada juga yang isi fanpagenya tidak sesuai kenyataan atau bahkan di lebih-lebihkan.
Kebebasan berekspresi harus di hormati. Karenanya praktik berdemokrasi kita, seharusnya di lakukan dengan penuh rasa hormat, bukan vulgar dan dangkal, tidak beraturan (isinya propaganda politik, saling menjatuhkan bahkan menyesatkan). Menjelang PILKADA, isu SARA marak di gunakan untuk memperkuat dominasi politik kandidat. Strategi komunikasi politik yang digunakan oleh masing-masing pasangan calon merupakan perpaduan antara pendekatan moderen yang menekankan pada visi misi dan pengorganisasian kampanye, dengan pendekatan tradisional yang di lakukan melalui tema kampanye atau isu yang bersifat substantif dan normatif, misalnya melalui atribut kampanye yang merujuk pada identifikasi etnik dan agama.
Di Kabupaten Halmahera Utara, isu etnisitas dan agama di pilih sebagai advokasi politik untuk keperluan pemasaran kelompok dominan, baik dari segi etnik maupun dari segi agama. Oleh sebab itu, pendukung advokasi politik ini pada umumnya berasal dari kelompok kepentingan dari berbagai organisasi etnik dan agama. Isu etnisitas merupakan salah satu variabel yang menentukan elektabilitas seorang kandidat. Namun, dalam konteks tertentu isu etnisitas bisa juga menurunkan elektabilitas kandidat.
Advokasi politik pada PILKADA 2024 di Kabupaten Halmahera Utara, pasangan calon Bupati dan wakil bupati yang mengangkat isu etnisitas dan agama dibungkus dengan simbol dominasi elit yang menumbuhkan makna bahwa mereka merupakan representasi terbaik dari kalangan putra daerah yang paham adat istiadat dan mengerti relasi antar umat beragama.
Isu etnisitas dan agama menjadi subset penting dalam ranah komunikasi politik saat di gunakan sebagai instrumen dalam perebutan kekuasaan. Jika menilik pada paradigma baru Ilmu Pemerintahan yang mengibaratkan negara seperti sebuah kapal, maka pertanyaannya adalah, apakah kita memilih Nahkodanya berdasarkan kecakapan mengemudikan kapal atau populer karena di sukai oleh penumpang kapal? Bukankah yang penting bagi seorang Pemimpin adalah kecakapan dan pengabdiannya?
Media sosial seperti facebook, Instagram dan TikTok telah menjadi platform penting untuk memperkuat proses berdemokrasi di daerah kita. Ketiganya memberikan ruang bagi masyarakat untuk lebih aktif dalam berpartisipasi, menyuarakan pendapat, dan mengakses informasi. Selain itu, Facebook, Instagram dan TikTok juga dapat menjadi sarana utama untuk kampanye politik, mobilisasi massa, dan diskusi politik yang lebih terbuka dan bebas. Ironisnya, ketiganya juga menjadi arena pertarungan isu besar untuk saling menjatuhkan lawan dengan propaganda politik, penyebaran hoaks yang dapat memanipulasi opini publik, disinformasi, dan ujaran kebencian yang dapat memecah belah masyarakat dan membentuk polarisasi sosial dan politik yang bisa merusak integritas berdemokrasi kita di H-3 pelaksanaan PILKADA tahun 2024.
Politik bising, terutama ketika dikaitkan dengan perpecahan ideologis yang tajam, dapat menyebabkan kekerasan fisik antara pendukung yang berseberangan. Aksi protes yang brutal atau serangan terhadap kandidat dan/atau pendukungnya bisa terjadi sebagai akibat dari ketegangan yang dibangkitkan dalam suasana politik yang penuh kebencian.
Secara keseluruhan, sisi gelap politik bising mengarah pada kerusakan hubungan sosial dan berpotensi merusak kualitas demokrasi. Untuk mencegahnya, penting bagi kita semua untuk kembali pada prinsip-prinsip dasar demokrasi yang sehat, yang mengedepankan dialog dan diskusi rasional, penghargaan terhadap perbedaan, dan komitmen terhadap kebenaran dan fakta karena keberadaan media sosial memungkinkan masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan untuk memiliki suara yang lebih besar dalam menentukan arah politik daerah kita.