Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga yang bertanggungjawab atas ajang tersebut, biasanya berkerjasama dengan pihak swasta dalam hal ini media mainstream (tv nasional, Lokal, maupun radio) guna mempublikasikan kegiatan tersebut.
Santer terdengar kabar bahwa pembiayaan untuk sekali debat pasangan calon, bisa berkisar miliaran rupiah. Misalnya pelaksanaan Debat Kandidat pertama Pilkada Kabupaten Halmahera Utara, dikabarkan bahwa untuk durasi waktu 120 menit kegiatan debat yang di tayangkan pada program Tv Nasional (Kompas TV), berkisar 1,5 miliar. Tentu anggaran yang tidak sedikit dengan durasi waktu penayangan yang cenderung singkat. Hanya dengan waktu sesingkat itu, anggaran yang besar habis terpakai.
Konon, kegiatan ini merupakan program pengulangan dari Pilkada sebelumnya. Yang menjadi pertanyaan disini adalah, mengapa tidak satu pun lembaga baik Universitas, Pemerintah atau stakeholder lainya yang mengkritisi anggaran yang terbilang besar. Pertanyaan lanjutan, efektifkah kegiatan debat kandidat guna menaikan angka partisipasi pemilih? Tentu, masih ada pertanyaan-pertanyaan lainya juga. Paling tidak, evaluasi penyelenggaraan pilkada kita kedepan harus dilakukan bersama beberapa pihak termasuk Universitas. Jangan sampai, Pihak Universitas kritis membuat pertanyaan kepada Peserta Debat karena dipakai sebagai panelis, namun gagap mengkritisi anggaran Debat atau itu sendiri.
Debat Bak Panggung Jenaka
Alih-alih memberikan informasi terkait visi misi ataupun program kerja, beberapa kesempatan debat yang telah dilaksanakan, tak jarang para peserta debat tidak tampil sebagaimana yang diharapkan, banyak pertanyaan dari panelis guna mempertajam visi dan misi para kandidat, malah dijawab dengan tidak tepat bahkan ada yang menjawab jauh dari konteks yang dimaksudkan. Padahal, melalui debat publik menilai kandidat mana yang layak dipilih terutama bagi pemilih mengambang atau yang belum menentukan sikap politiknya.
Siapapun yang lahir dari proses prematur, akan cacat. Hal ironi ini tidak terlepas dari proses rekrutmen peserta Pilkada yang buruk. Para peserta Pilkada (calon) yang di rekrut oleh partai politik sama sekali tidak berdasarkan kompetensi dasar seperti memahami proses beranggaran di daerah, pembuatan kebijakan, kepemimpinan dan moral yang baik. Bahkan, hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, biaya politik untuk menjadi bupati atau wali kota rata-rata Rp30 miliar, sedangkan biaya menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar.
Dari hasil kajian ini menjadi konkrit bahwasanya proses rekrutmen kita pada Pilkada prematur sehingga melahirkan calon peserta Pilkada yang cacat. Pun terlihat pada sesi debat antar kandidat, seperti panggung jenaka yang mempertontonkan lelucon-lelucon. Padahal, publik mengharapkan sekiranya ada solusi alternatif terbaru untuk memajukan daerah, bukan sekedar show of atau pun bercanda. Sebab harus disadari, persoalan sosial, ekonomi, kesehatan dan lainya bukan bahan candaan. Panggung debat kandidat adalah arena pertarungan konflik dalam artian para kandidat harus memperdebatkan isi kepala. Agar kedepan cita-cita otonomi daerah, harapan masyarakat, tujuan bernegara dapat tercapai melalui pemimpin yang punya kemampuan mengelola pemerintahan bukan sekedar jadi karena kebanyakan gimic, tetapi memang benar-benar terpilih karena kapabilitas yang di miliki.