Foto : Abraham M. Bale (istimewa). |
Oleh : Abraham M. Bale (Mahasiswa Pascasarjana UKSW)
Pendahuluan
Penutupan wahana rumah hantu di Kota Tobelo pada beberapa waktu lalu telah menuai sorotan dari berbagai pihak, tidak terkecuali dengan penulis. Hal tersebut kemudian mendorong penulis untuk menyampaikan opini dan kritikan terhadap situasi yang berkecamuk diantara kelompok yang pro maupun yang kontra dalam kasus ini. Seperti yang diketahui, wahana rumah hantu yang terletak persis disamping Gereja Yesus Itu Tuhan tersebut adalah wahana rumah hantu permanen pertama yang ada di Tobelo sepanjang sejarah berdirinya kota tersebut. Wahana yang dibuka sejak pertengahan tahun 2023 ini pada awalnya berhasil “menghipnotis” khalayak masyarakat Halmahera Utara khususnya Kota Tobelo untuk sekedar mampir dan menguji adrenalin mereka.
Akan tetapi ketenaran wahana tersebut tidak bertahan lama setelah adanya narasi kecaman dari beberapa oknum yang sangat kental dengan nilai-nilai teologis dan alkitabiah di media sosial seperti platfrom Facebook. Narasi kecaman yang muncul di ruang digital tersebut berupa pertentangan akan yang sakral dan non-sakral dalam sebuah agama. Berikut ada tiga poin narasi kecaman yang dimuat pada media sosial dan berhasil dirangkum oleh penulis. Pertama, adanya postingan tentang kehadiran wisata rumah hantu tersebut dinilai merupakan tanda-tanda akhir zaman. Kedua, adanya postingan yang memuat tentang perbandingan pembelian tiket di rumah hantu dan pemberian persembahan di rumah ibadat. Ketiga, masyarakat dinilai telah melenceng dari agama karena lebih memilih masuk ke wahana rumah hantu ketimbang ke rumah ibadat yang bersebelahan dengan tempat wisata rumah hantu tersebut.
Viralnya kecaman terhadap wahana rumah hantu tersebut kemudian berimbas pada volume pengunjung, tak pelak pihak pengelolah mengalami degradasi penghasilan yang sangat sigfinikan. Realitas menurunnya pendapatan pihak pengelolah rumah hantu kemudian membuat mereka harus “gulung tikar”, alias menutup obyek wisata yang baru seumur jagung.
Berangkat dari eksposisi di atas, maka penulis sekurang-kurangnya akan berfokus pada satu poin dari fenomena ini dengan pendekatan sosiologi agama yang bertumpu pada azas interdisiplin ilmu sebagai pisau bedah analisis dalam tulisan. Yakni, meninjau serta mengkritisi tiga garis besar narasi kecaman yang sarat akan nilai-nilai teologis terhadap obyek wisata rumah hantu di media sosial.
Metodologi Penelitian
Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, entitas penelitian studi kasus adalah sebuah bentuk penelitian kualitatif yang berangkat dari sebuah fenomena tertentu. Sementara teknik pengumpulan data yang dipakai merujuk pada etnografi digital dan purpose sampling. Etnografi digital digunakan untuk memilah data penelitian berupa postingan-postingan yang memuat narasi kecaman berbasis teologis serta nilai-nilai kitab suci keagamaan dari beberapa oknum. Sedangkan purpose sampling digunakan untuk mewawancarai salah satu pemilik saham obyek wisata rumah hantu di Tobelo. Data penelitian kemudian dikumpulkan, divalidasi, serta diinterpretasikan dengan bidang sosiologi agama, kemudian disimpulkan.
Pembahasan
Bicara tentang sosiologi berarti berbicara tentang relasi dan makna yang konstruktif, jika kedua hal tersebut tidak diletakan dalam sebuah realitas sosial, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai realitas non-sosiologis. Lantas bagaimana sudut pandang sosiologi terhadap fenomena penutupan rumah hantu yang dilatarbelakangi oleh “teologi dangkal” dari beberapa oknum di Facebook ? Penulis melihat adanya ketidakseimbangan moral menurut Durkheim dan nilai subjektifitas iman seseorang, hal ini dapat ditandai dalam beberapa postingan yang berisikan narasi negatif terhadap obyek wisata rumah hantu. Pertama-tama penulis ingin mengajak pembaca untuk menelusuri wisata intelektual sosiologi modern dari seorang sosiolog yang berasal dari Prancis, yakni Emile Durkheim. Poin terkenal dalam pemikiran Durkheim adalah tentang solidaritasnya, akan tetapi penulis berfokus pada pembahasan Durkheim tentang moral. Moral dalam defenisi umum sangat berbeda dengan moral dalam dunia sosiologis. Jika moral dalam defenisi umum merupakan sikap dan perbuatan baik, maka moral dalam ranah sosiologis dapat dipahami sebagai tindakan seseorang yang rela “mengorbankan diri” untuk menjaga keutuhan dan solidaritas kelompok, hal tersebut dilakukan semat-mata untuk menjaga relasi dan makna yang baik tadi.
Pada konteks fenomena penutupan rumah hantu di Tobelo, penulis tidak menemukan usaha-usaha sosiologis dalam mempertahankan relasi dan makna yang baik, justru sebaliknya. Oknum-oknum dengan kedangkalan teologinya menyerang obyek wisata secara membabi buta melalui narasi teologis di media sosial. Oleh karena itu, penulis menguraikan tiga narasi teologis yang dianilisis dengan sudut pandang sosiologi modern secara interdisipliner dalam beberapa poin di bawah ini;
a. Postingan tentang kehadiran rumah hantu sebagai tanda-tanda akhir zaman
Bagi orang-orang yang berada dalam lingkungan teologi kemungkinan besar akan menilai postingan ini sebagai lelucon yang sangat menggairahkan. Sebab, ditinjau dari sisi manapun adanya rumah hantu tidak dapat diklaim sebagai tanda-tanda akhir zaman, apalagi tidak ditopang oleh paradigma teologis yang memadai. Postingan dari salah satu pengguna Facebook di Tobelo ini kemudian menjadi penyumbang narasi kecaman terhadap “rumah hantu” yang berimbas pada penurunan pendapatan secara ekonomis dan bermuara pada penutupan obyek wisata tersebut. Menurut Rolland Barthes, banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa dan bagaimana seseorang dapat mengeluarkan statement, tindakan, dan ekspresi entah karena dipengaruhi oleh latar belakang sosialnya, ekonomi bahkan kepentingan pribadi yang terselubung, pendapat Barthes tersebut berangkat dari bidang ilmu linguistik yang ia sempurnakan dari Ferdinand de Saussure. Pada konteks kasus yang penulis angkat, menarik jika kita menelaah lebih jauh tentang latar belakang sosial dari orang yang meng-upload postingan tersebut.
b. Postingan tentang perbandingan “persembahan” di tempat ibadah dengan pembelian karcis di obyek wisata
Persembahan di sebuah agama bukanlah “persembahan” apabila tidak dicampurkan dengan struktur agama. Dengan kata lain, “persembahan” adalah bahasa yang dikomodifikasi secara struktural oleh agama itu sendiri. Tanpa adanya campur tangan struktur agama, “persembahan” yang kita kenal hari ini bisa saja berubah wujud seperti “karcis”. Oleh karena itu, orang-orang beragama seharusnya tidak berlebihan dalam membanding-bandingkan “persembahan” di tempat ibadat dengan karcis di obyek wisata. Sebab, ada realitas lain yang harus diakui keberadaannya tanpa mengesampingkan nilai ritus keagamaan tertentu. Akan tetapi, penulis menyadari bahwasannya negara Indonesia bukanlah negara yang menganut sistem sekular agama. Menurut Peter Berger, sekularisme agama kemudian telah menjadi sebuah gerakan sosial yang cukup intens, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi di Indonesia pada umumnya.
c. Postingan tentang dikotomi tempat ibadah yang bersebelahan dengan obyek wisata rumah hantu
Menurut pemilik tempat usaha obyek rumah hantu, pihak mereka telah bernegosiasi dengan membangun relasi yang baik dengan pihak tempat ibadah yang berada tepat disampingnya. Pada sisi lain, pemilik obyek wisata tersebut tidak seharusnya meminta izin kepada pihak tempat ibadah, hal ini dikarenakan mereka sama-sama membayar pajak bangunan yang sama dan sama-sama memiliki hak untuk membangun dan menjalankan rutinitas keseharian mereka. Penulis sendiri berkomentar, setiap orang yang masuk ke rumah ibadat dengan obyek wisata rumah hantu memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda, dimana orang yang masuk ke tempat ibadah adalah orang yang hendak menjalankan ritus keagamaannya, sementara yang masuk di obyek wisata rumah hantu adalah orang yang hendak sekedar bersenang-senang atau menguji adrenalin mereka. Kedua hal ini adalah hal yang berbeda, tidak bisa disamakan apalagi tidak ditopang oleh pengetahuan teologis yang akurat.
Stigma negatif dalam postingan kecaman berbau teologis terhadap rumah hantu di Tobelo bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi elit agama, pemerintahan, dan unsur struktural lainnya di Kota Tobelo. Sebab, imbas yang dihasilkan merugikan pihak lain yang seharusnya tidak mendapat sanksi sosial tersebut. Kita tidak pernah tahu seberapa besar “pengorbanan” waktu, biaya, bahkan effort yang dikeluarkan oleh pemilik usaha rumah hantu untuk membuka usahanya, lalu ada orang yang dengan semena-mena datang mengintimidasi secara teologis.
Perlu ditegaskan, penulis tidak melihat obyek teologi sebagai bahan kritikan, melainkan mengkritisi penggunaan nilai teologis yang dinilai dapat merugikan orang lain. Padahal jika dipikirkan kembali, bukankah nilai-nilai teologis harus berdampak positif bagi orang-orang disekitarnya dan bukan sebaliknya ? lantas pada konteks ini, manakah yang lebih “teologis”, sosiologi atau teologi itu sendiri ? ataulah kita sepakat memakai pendekatan interdisiplin ilmu agar tidak terjebak pada dikotomi teologi dan sosiologi. Dengan kata lain, realitas dunia hari ini mengharuskan teologi tidak hanya berdiri sendiri, melainkan harus ditopang dengan berbagai ilmu lain untuk menjawab berbagai persoalan sosial disekitar kita.
Referensi
- Assyakurrohim, Dimas, Dewa Ikhram, Rusdy A Sirodj, and Muhammad Win Afgani. “Metode Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif.” Jurnal Pendidikan Sains Dan Komputer 3, no. 01 (2023): 1–9.
- Bahartiar, Bahartiar, and Fajar Arwadi. “Analisa Data Penelitian Kualitatif: Konsep, Teknik, Prosedur Analisis (2020).” Badan Penerbit UNM, 2020.
- Daene, Relix Soru. Wahana Rumah Hantu Tobelo ? #JangPancing. Indonesia, 2023. Wahana Rumah Hantu Tobelo 🔥%0A#JangPancing.
- Kurniawan, Kevin Nobel. Kisah Sosiologi. 1st ed. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020.
- Lenaini, Ika. “Teknik Pengambilan Sampel Purposive Dan Snowball Sampling.” Historis: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah 6, no. 1 (2021): 33–39.
- Lustyantie, Ninuk. “Pendekatan Semiotik Model Roland Barthes Dalam Karya Sastra Prancis.” In Seminar Nasional Fib Ui. Vol. 19, 2012.
- Pachoer, Raden Datoek A. “Sekularisasi Dan Sekularisme Agama.” Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya 1, no. 1 (2016): 91–102.
- Penulis. “Wawancara Dengan Bapak Arif,” 2024.
- Rosaliza, Mita, Hesti Asriwandari, and Indrawati Indrawati. “Field Work: Etnografi Dan Etnografi Digital.” Jurnal Ilmu Budaya 20, no. 1 (2023): 74–103.
- Sudikan, Setya Yuwana. “Pendekatan Interdisipliner, Multidisipliner, Dan Transdisipliner Dalam Studi Sastra.” Paramasastra: Jurnal Ilmiah Bahasa Sastra Dan Pembelajarannya 2, no. 1 (2015).