Foto : Gereja GMIH "Diaspora" Babang. |
Oleh : Pdt. Melky Molle, S.Th.,M.Pd (Ketua Bidang Pemuda Sinode GMIH)
Menceritakan sebuah siklus sejarah tentu berhadapan dengan ekspresi fundamental dan gagasan prespektif yang berada pada posisi subjektifitas person. Selaku sekian banyak aksi dan saksi sejarah, hadirnya Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) di Pulau Bacan Halmahera Selatan telah menjadi cerita membisu diantara kedua Gereja arus utama, antara GMIH dan GPM di Maluku Utara.
Perlu disadari, bahwa konteks permasalahan awalnya harus dilihat, sebagai bentuk ekspresi epistemik yang berujung pada demarkasi pengetahuan. Bahwa segala sesuatu berada dan ada, berawal dari kosong. Marx juga memberi argumentasi spesifik bahwa semuanya ada karena materi.
Karena itu, kehadiran Gereja Masehi Injili di Halmahera, di kabupaten Halmahera Selatan bukan berada dari kosong, tetapi adanya ada. Ada Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah mula-mula menjadi benih Injil yang bertumbuh pada Tahun 60 an menjadi cikal bakal lahirnya GMIH tahun 2003 waktu itu, di Bacan.
Resistensi kehadiran GMIH di Pulau Bacan menjadi fenomena menarik, jika ditelesik dari corong epistemik yang berdiri sendiri tanpa ada orientasi hegemoni superioritas gereja. Sebagai aktifis gereja yang lahir dan di baptis di Gereja Protestan Maluku tahun 80 an saya lalu menyadari, bahwa Gereja telah menjadi kekuatan politik yang keluar jauh dari ranah pengembalaan sosial dan spiritual yang menekankan sikap belas kasih, sebaliknya jauh panggang dari api.
Gereja GMIH, jemaat Diaspora Babang, Gereja sentral strategis yang berada dekat pelabuhan jalur transportasi laut adalah jemaat yang pertama kali mengambil sikap Dispora (keluar) dan bergabung dengan GMIH tahun 2003 . Beralihnya 23 Kepala Keluarga dipimpin oleh salasatu tokoh masyarakat yaitu Zadrak Molle, dan dikuti oleh beberapa jemaat seperti GPM Bori, GPM Tomori, GPM Tawa, GPM Kaputusang, GPM songa, GPM Wayaua, GPM Bibinoi dan GPM Geti Baru.
Ada korelasinya, mengapa peralihan jemaat GMIH Diaspora Babang, mempengaruhi yang lain? Indikator yang paling dekat di justifikasi adalah hubungan keluarga dan suku. Kekuatan keluarga dan suku memperkuat peralihan itu terjadi (2003). Jemaat-jemaat peralihan yang saya sebutkan diatas memiliki ikatan yang kuat, dan emosional suku yang rentan terhadap suku lain, atau dalam bahasa Tobelo disebut " ngone de ngone dika" nyawa mahomoa inahi aga" artinya kita dengan kita, orang lain tidak dapat dipercaya.
Bahwa sesungguhnya makna hanya kita dengan kita yang dapat saling percaya orang lain tidak dapat dipercaya adalah sebuah pernyataan yang didasarkan pada pengalaman emansipatoris kesejarahan. Berawal dari diskriminasi suku, terlalu kuat dimainkan oleh pihak yang mengatasnamakan gereja, superioritas golongan pada aspek kekerasan epistemik.
Lihat Kisah Pemuda
Pemuda itu menceritakan kisahnya, seperti berikut ini. Saya waktu itu dipersiapkan untuk mengikuti tes sekolah Pendeta, satu-satunya utusan pertama anak daerah yang mengikuti tes itu. Tapi hasilnya mengecewakan, bahwa saya dinyatakan tidak lulus karena dianggap orang Halmahera itu tidak pandai. Menurut saya ini diskriminasi. Karena penilaian lulus atau tidak tergantung asal daerahnya. Padahal perguruan tinggi itu milik gereja, tapi penilaiannya tidak didasarkan pada hasil tes, tapi dilihat dari asal muasal saya. Beralihnya jemaat GPM ke GMIH menjadi tendensi serius dua gereja tersebut. Pengalaman jemaat waktu rusuh yang diungsikan ke jemaat-jemaat GPM di Maluku tenggara (Saumlaki), seram dan tual, memberi makna pembiaran umat ditengah konflik dan ditengah pergumulan mengadu nasip ditanah orang.
Alasan mendasarnya adalah pelayanan. Bagaimana dengan pelayanan umat yang mengalami situasi ketidak pastian tanpa pendeta pendamping, umat dibiarkan begitu saja, tidak ada sentuhan apapun. Situasi seperti ini melahirkan dilema pengharapan, masih adakah pengharapan yang dihadirkan gereja? Gereja tidak perlu disalahkan, tapi paling tidak ada sentuhan kasih emansipatoris yang dihimpun oleh gereja tanpa memandang suku, asal muasal, dan sikap superioritas.
Dari pengalaman pelayanan pengabaian umat inilah gereja perlu belajar dari orang-orang yang tersingkir, gereja perlu belajar dari orang-orang yang memandang diri superior, gereja perlu belajar dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan, mengharapkan adanya gereja hadir, menyapa penuh kasih sayang, kepada umat yang dikondisikan dari situasi yang tidak menentu atau rusuh pada saat itu. Semoga kita hidup dalam teologi ingatan, yang terus dihidupi gereja sebagai pemegang otoritas sejarah pengembalaan umat dihari ini.
Seperti yang dituliskan oleh Conrad Boerma (1987) Untuk dapat percaya akan perubahan, orang harus dapat percaya akan kemungkinan timbulnya perubahan dan akan kemampuan sendiri untuk melancarkan perubahan-perubahan itu sendiri. Apabila orang secara kontinyu berada dibawah tekanan dan harus hidup dalam keadaan amat meresahkan, maka harapannya dan api percaya dirinya akan mati. Memang disadari gereja memerlukan perubahan, tapi perubahan yang betul-betul dihidupi yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan, yang menghidupkan. Semoga, Homo hominy salus.