Tanah : Simbol Perlawanan

Editor: KritikPost.id


Oleh : Melky Molle


Hari itu, sekitar pukul 08:00, saya bersama dengan 3 orang teman, bertolak dari Tobelo menuju Desa Gulo menggunakan mobil Avanza berwarna putih. Jarak yang ditempuh adalah sekitar ± 25 Kilo Meter (KM), dan kami diarahkan oleh seorang teman yang telah lebih dulu ada di Gulo, agar tiba tepat waktu untuk menghadiri kegiatan yang akan berlangsung pada pukul 10:00 Waktu Indonesia Timur (WIT).

Sebelum sampai ke Desa Gulo, kami menyempatkan waktu untuk singgah di rumah teman kami yang berada di Desa Kusuri. Mobil kami berhenti tepat didepan rumah teman kami, dan kami pun masuk ke rumah teman kami. Suasana ceria dibumbui dengan canda gurau mengisi perjumpaan kami.

Tak lama berselang waktu, kopi panas akhirnya keluar. Teman kami seakan tahu bahwa kami belum sempat minum kopi atau teh panas sebelum bertolak. Dengan semangat, kami meneguk kopi panas itu dengan pelan namun pasti. Senang sekali kami minum kopi selera "lelaki pardidu" (bahasa daerah Maluku yang jika diterjemahkan artinya "tukang jalan") yang sudah ada didepan kami. Kami pun menikmatinya dengan malu-malu, sambil bercerita tentang kenangan-kenangan lama. Kopi habis, dan akhirnya kami pun pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Gulo.

Desa Gulo adalah salah satu pedesaaan pesisir yang berada di Kecamatan Kao Utara, Kabupaten Halmahera Utara, Propinsi Maluku Utara. Pada hari itu, Sabtu 15 Juli 2023, sekitar pukul 09:00.WIT, kami menyusuri jalan-jalan bebatuan dan berlubang dari Desa Wateto ke Desa Gulo. Perjalan tersebut diperkirakan memakan jarak tempuh sekitar ± 2 KM. Setelah kurang lebih setengah perjalanan, kami dikejutkan dengan pemandangan aneh. Terlihat dari kejauhan di sekitar jalan itu, ada gunung hasil buatan mesin-mesin besar dan kuat seperti Taktor dan Ekskavator.

Karena penampakan gunung buatan tersebut, akhirnya kami hentikan mobil sejenak untuk memandang hamparan luas dan gundul oleh aktivitas eksploitasi pertambangan PT. Emerald. Gunung buatan mesin-mesin itu, memberi gambaran betapa ironisnya situasi yang dialami oleh pemilik kebun itu.

Setelah beberapa lama kami tertegun, tiba-tiba ada suara permisi tepat dibelakang kami berdiri. Suara itu berasal dari seorang ibu yang hendak lewat, dan mau pergi ke ladangnya. Karena dorongan rasa penasaran, kami akhirnya bertanya kepada ibu itu.

"Kenapa kebun itu sudah berada diatas ketinggian?".

Kemudian ibu itu pun akhirnya bercerita kepada kami.

"Pemilik kebun itu adalah masyarakat desa Gulo, namanya biasa disapa bapak Ukulu. Dulunya hamparan tanah ini adalah kebun masyarakat desa Gulo. Kebun yang berisi tanaman tahunan, dan bulanan, seperti Kelapa, Pala, Ubi Kayu, Ubi Jalar, Pisang, dll."

Kami pun lanjut bertanya, "Lalu kenapa tanah ini sudah gundul?"

Ibu itu menjawab, "Karena sudah dibeli oleh perusahan PT. Emerald, dan tanah ini sudah menjadi hak milik perusahan. Jadi dorang (mereka) mau buat apa juga terserah mereka."

Lanjut kami bertanya, "Lalu yang lain sudah habis ditebang. Tapi kenapa masih ada kebun ditengah-tengah tanah yang gundul itu?"

Ibu itu juga menjawab, "Karena bapak Ukulu memberi harga yang mahal kepada perusahan, sehingga pihak perusahan tidak mau membelinya. Lalu kebun yang disekitar kebun milik bapak Ukulu itu digusur dan digali, dan hanya menyisahkan kebun bapak Ukulu saja yang masih bertahan, jadi akhirnya sudah menjadi tinggi. Bahkan tingginya sudah seperti gunung, coba ngoni lia itu (coba kamu semua lihat itu).

Masih dengan rasa penasaran yang belum terjawab sepenuhnya, kami lanjut bertanya.

"Lalu bagaimana bapak Ukulu bisa pergi dan memanen hasil kebunnya, jika kebunnya sudah menjadi gunung?"

Dengan raut wajah sedih dan pasrah, ibu itu pun menjawab, "Memang bapak Ukulu bisa pergi ke kebun itu, tapi sedikit susah jalannya. Kebunnya sudah menjadi tebing, dan bapak Ukulu harus naik ke kebun yang tingginya sekitar ± 10 Meter itu.

Singkat cerita, kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat kegiatan. Mengingat acara yang akan dimulai setengah jam lagi, dan perjalanan kami masih cukup jauh.

Dari cuplikan kisah ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bapak Ukulu adalah sosok pejuang melawan para pengecut korporasi. Bapak Ukulu mau menunjukan kepada kita, bagaimana menghargai tanah dan memahami kehidupan. Tanah bukan untuk diperjualbelikan karena alasan ekonomis, tetapi tanah adalah simbol perlawanan industrialisasi. Seperti kata Gustavo Gitieres, bahwa tidak ada gunanya melawan kapitalis dengan belajar ke eropa, atau ke negara-negara maju lainnya, untuk melawan penjajahan kapitalis adalah kita harus belajar dari sejarah dan nilai-nilai dari tanah kita sendiri.

Sungguh sangat ironis jika kebun adalah penopang kehidupan, lalu kenapa mesin-mesin harus merampasnya? Disatu sisi, karyawan dan pemilik modal diperuntukkan untuk aktifitas dan mobilitas eksploitasi, maka nilai efisiensi dan efektivitas perusahan diutamakan demi keuntungan pemilik modal atau para kapitalis.

Tetapi dilain sisi, pihak komunitas masyarakat desa memerlukan tanah. Merekalah pemilik tanah. Pemilik tanah diberi angka-angka kapital, sedangkan tanah seakan tak berarti bagi perut yang lapar. Padahal tanah memiliki nilai hidup. Tanah memberi harga diri, identitas dan eksitensialitas masyarakat desa. Namun sampai hari ini, industrialisasi dan desa menjadi urgensi di Indonesia, termasuk di Halmahera, Maluku Utara.

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.