"Pemilik kebun itu adalah masyarakat desa Gulo, namanya biasa disapa bapak Ukulu. Dulunya hamparan tanah ini adalah kebun masyarakat desa Gulo. Kebun yang berisi tanaman tahunan, dan bulanan, seperti Kelapa, Pala, Ubi Kayu, Ubi Jalar, Pisang, dll."
Kami pun lanjut bertanya, "Lalu kenapa tanah ini sudah gundul?"
Ibu itu menjawab, "Karena sudah dibeli oleh perusahan PT. Emerald, dan tanah ini sudah menjadi hak milik perusahan. Jadi dorang (mereka) mau buat apa juga terserah mereka."
Lanjut kami bertanya, "Lalu yang lain sudah habis ditebang. Tapi kenapa masih ada kebun ditengah-tengah tanah yang gundul itu?"
Ibu itu juga menjawab, "Karena bapak Ukulu memberi harga yang mahal kepada perusahan, sehingga pihak perusahan tidak mau membelinya. Lalu kebun yang disekitar kebun milik bapak Ukulu itu digusur dan digali, dan hanya menyisahkan kebun bapak Ukulu saja yang masih bertahan, jadi akhirnya sudah menjadi tinggi. Bahkan tingginya sudah seperti gunung, coba ngoni lia itu (coba kamu semua lihat itu).
Masih dengan rasa penasaran yang belum terjawab sepenuhnya, kami lanjut bertanya.
"Lalu bagaimana bapak Ukulu bisa pergi dan memanen hasil kebunnya, jika kebunnya sudah menjadi gunung?"
Dengan raut wajah sedih dan pasrah, ibu itu pun menjawab, "Memang bapak Ukulu bisa pergi ke kebun itu, tapi sedikit susah jalannya. Kebunnya sudah menjadi tebing, dan bapak Ukulu harus naik ke kebun yang tingginya sekitar ± 10 Meter itu.
Singkat cerita, kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat kegiatan. Mengingat acara yang akan dimulai setengah jam lagi, dan perjalanan kami masih cukup jauh.
Dari cuplikan kisah ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bapak Ukulu adalah sosok pejuang melawan para pengecut korporasi. Bapak Ukulu mau menunjukan kepada kita, bagaimana menghargai tanah dan memahami kehidupan. Tanah bukan untuk diperjualbelikan karena alasan ekonomis, tetapi tanah adalah simbol perlawanan industrialisasi. Seperti kata Gustavo Gitieres, bahwa tidak ada gunanya melawan kapitalis dengan belajar ke eropa, atau ke negara-negara maju lainnya, untuk melawan penjajahan kapitalis adalah kita harus belajar dari sejarah dan nilai-nilai dari tanah kita sendiri.
Sungguh sangat ironis jika kebun adalah penopang kehidupan, lalu kenapa mesin-mesin harus merampasnya? Disatu sisi, karyawan dan pemilik modal diperuntukkan untuk aktifitas dan mobilitas eksploitasi, maka nilai efisiensi dan efektivitas perusahan diutamakan demi keuntungan pemilik modal atau para kapitalis.
Tetapi dilain sisi, pihak komunitas masyarakat desa memerlukan tanah. Merekalah pemilik tanah. Pemilik tanah diberi angka-angka kapital, sedangkan tanah seakan tak berarti bagi perut yang lapar. Padahal tanah memiliki nilai hidup. Tanah memberi harga diri, identitas dan eksitensialitas masyarakat desa. Namun sampai hari ini, industrialisasi dan desa menjadi urgensi di Indonesia, termasuk di Halmahera, Maluku Utara.