Amir Sjarifuddin dan politik Propaganda

Editor: KritikPost.id

Oleh : Melki Molle



ORDE Baru berkuasa selama 32 tahun.  25  tahun orde baru dan Suharto lengser dari jabatannya, Suharto  sudah menjadi penghuni liang kubur. Suharto dan orde baru telah tumbang lama tapi narasi soal PKI  masih mempengaruhi anggapan umum anak-anak bangsa Indonesia. 

Suatu masa dimana Orde Baru menyebut PKI  sebagai partai penghianat negara dan bangsa. Pemberontakan  PKI dua kali terhadap pemerintah Republik Indonesia, pada 19 Sep. 1948 dan 30 Sep. 1965. PKI dianggap partai politik anti Tuhan, musuh umat beragama di Indonesia anti Pancasila, pengkhianat, pencipta tragedi lumuran darah, bukan saja anti Tuhan tapi juga anti kemanusiaan . 

Sejarah, bahwa PKI merupakan salah satu partai politik yang turut memperjuangkan, dan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan. Suka atau tidak, PKI telah melahirkan generasi pejuang patriotik, pada masa pergerakan Kebangsaan, Pendudukan Nipon, hingga pada Revolusi Kemerdekaan. 

Perjuangan melawan Neo-Kolonialis Imperialis, dibubarkan oleh Mayjen Suharto pada 12 Maret 1966, dipropagandakan dalam masa transisi kekuasaan Indonesia oleh Suharto sendiri sampai lahirnya orde Baru menubangkan orde Lama, yang dianggap jawaban atas impian rakyat Indonesia. 

Dari banyaknya tokoh PKI, ada satu sosok tokoh yang menarik. Adalah Amir Sjarifuddin Harahap. Pimpinan PKI yangpernah memegang jabatan tertinggi pada pemerintahan Republik Indonesia, diangkat mendampingi Sukarno menjabat sebagai Perdana Menteri pada tanggal 3 Juli 1947 sampai 23 Januari 1948.

Orde Baru menempatkan Amir Sjarifuddin pada bagian kelam sejarah bangsa Indonesia. Ia dituduh sebagai penyebab kegagalan Republik Indonesia dalam perundingan Renville, menyebabkan kerugian besar dari Persetujuan Linggarjati. Amir disebut sebagai salah satu tokoh dan dalang pemberontakan PKI di Madiun pada 19 September 1948. Pula, PKI yang dipimpin oleh Amir menggantikan bendera Merah Putih dengan bendera Palu-Arit dan melakukan pembunuhan terhadap kyai-kyai dan para santri di Madiun.

Peristiwa Madiun bukanlah sebuah pemberontakan sebagaimana yang telah dipropagandakan oleh musuh-musuh PKI. Amir Sjarifuddin bukanlah seorang pemberontak dan penghianat negara. Ia adalah korban politik propaganda jahat anti PKI. Ia dituduh memberontak, tanpa pernah diberi kesempatan membela diri atas tuduhan tersebut. Ia ditembak mati tanpa proses peradilan. 

Curhatan Aidit menegaskan sebuah fakta pilu anak kandung revolusiener progresif, yang dituduh mengkonsolidasikan atau memperkuat propaganda untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno di Yogyakarta. Padahal Muso dan Amir ke Semarang, bertujuan memperkuat basis PKI sebagai partai saat itu. Ketika Muso Dan Amir berada di Semarang, mereka dianggap mendirikan negara baru, di Yogyakarta yang dimainkan oleh orang-orang dekat Sukarno termasuk Hata. Karena merasa ada upaya mendirikan negara baru, para pimpinan militer terpengaruh dan menggerakan prajuritnya bergerak menuju Jogjakarta dan sekitarnya membasmi Amir dan Muso yang dianggap dalang dari semua itu. 

Amir Sjarifuddin lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907. Orang tidak tahu, selain ia seorang komunis, ia juga seorang Kristen yang taat. Tapi itulah faktanya. Sebagian besar dari kita akan bertanya-tanya. Apa mungkin seorang Komunis bisa sekaligus menjadi orang Kristen yang taat? Bukankah Komunis itu anti Tuhan? Pertanyaan semacam ini wajar ada ditengah-tengah rakyat yang terindoktrinasi oleh Orde Baru selama ini, sehingga menganggap Komunisme dan agama adalah dua hal yang harus dipertentangkan terus-menerus, bahkan bila perlu dihilangkan, dan ditiadakan. Seakan PKI adalah partai atau orang-orang tidak berTuhan, tidak bermoral dan tidak berprikemanusiaan, maka tidak layak hidup di bumi Indonesia. Padahal, selain mereka sudah sangat lama menghilang secara politik, mereka juga sudah membunuh komunisme sebagai ideologinya sendiri. 

Amir, Marxisme-Leninisme bermula bertemu, ketika ia sedang menjalani studi di negeri Belanda antara tahun 1921 - 1927. Amir menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI) ketika itu. Di organisasi inilah Amir digembleng dari Semaun, seorang tokoh PKI yang dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1923. Dibawah kepemimpinan Semaun inilah, Amir bersama (PI) Perhimpunan Indonesia dan lainnya mendapatkan pendidikan Marxisme-Leninisme. ("").

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.