Calvinisme dan kekafiran Modern

Editor: KritikPost.id

 


Melki Molle 
(Akademisi Uniera)

Mencermati perkembangan pemikiran Calvinisme dalam konteks Indonesia adalah penting sebagai bahan koreksi untuk kearifan konteks pemaknaan Calvin dan para penerusnya, yang  harus digali sebagai salah satu titik sejarah perjuangan Injil melawan " Kekafiran". Kita mempelajari sejauh mana Calvinisme menjadi alat yang ampuh dalam mengatasi " kekafiran". Perkembangan inilah yang perlu dipantau secara kritis. Apakah Calvinisme berhasil menyesuaikan diri dengan konteks tanpa kehilangan jati dirinya? Karena itu tulisan ini mengetengahkan konsep tata gereja calvinisme sebagai arah menggereja kita yang calvinis.

Pertama, pandangan tentang Allah. Teologi Calvin sangat menonjolkan Allah adalah pribadi (dulu dipakai istilah "oknum"). Sebagai pribadi, Allah dikenal sebagai istilah-istilah, seperti Bapa, Raja, Hakim, dan lain-lqin. Calvin memakai Allah tidak dalam arti kuasa seperti ideologi-ideologi yang abstrak, juga tidak dipakai seperti yang "maha ada" seperti teologi skolastik abad pertengahan. Menurut Calvin Allah adalah pribadi yang berkarya dalam kemuliaan-Nya ditengah dunia. Ia memanggil kita agar menghadap dan bertemu dengan-Nya dalam diri Yesus Kristus pada pertemuan persekutuan-persekutuan yang memberitakan, dan mendengarkan firman Tuhan. Dengan begitu gereja dibimbing Roh Kudus untuk berjumpa dengan Allah.

Kedua, pandangan Calvin tentang manusia yang tidak bertolak dari individu. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia selalu hidup dalam persekutuan. Naluri manusia selalu mendorong untuk bersekutu dan memelihara persekutuan. Sebagai anak-anak Allah, persekutuan itu harus dibina dalam kerukunan seperti domba dalam satu kawanan. Hidup bersekutu bukan hanya bagi umat Allah tetapi juga dengan Allah, untuk mewujudkan persekutuan yang bukan berasal dari dunia, namun berada didunia ini, karena itu bentuk gereja harus di tata,  berdasarkan firman dan Roh 

Ketiga, pandangan Calvin tentang kebebasan yang pada dasarnya menlanjutkan Luther. " Kebebasan itu adalah perhambaan yang bebas dan kebebasan yang menghamba. Terhadap Allah, kita memiliki kebebasan karena panggilan-Nya, tetapi pada saat yang sama kita tidak bebas mengikuti keinginan kita. Kita punya salib sebagai wujud panggilan mengikut Kristus tetapi kita tidak ditindas oleh konsekwensi panggilan itu. Ada yang mutlak dianut dan  dipegang yang perlu dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini perlu diatur termasuk kebebasan yang diperoleh karena panggilan Allah dalam Kristus.

Untuk ketiga aspek pemikiran Calvin tentang Allah, Manusia dan kebebasan menjadi hal prinsip bergereja kita dalam menghadapi tantangan-tangan gereja saat ini  termasuk gempuran budaya kekafiran yang menutupi kuasa Allah dalam kasih yang emansipatoris.

Sementara di lain pihak, kita kurang peka terhadap masalah yang kita hadapi dalam masyarakat kita. Gereja- gereja kita diancam oleh gejala yang tanpa disadari telah merasuk dan menggerogoti Kekristenan kita. Oleh ( Th.van den end 2014) , gejala itu disebut "kekafiran". Kita berada dalam dunia di mana "kekafiran" tak hanya menyerang masyarakat, tetapi juga sendi-sendi kehidupan gereja. Hal ini dialami pula oleh gereja pada masa reformasi (abad ke 16).

Masyarakat saat itu penuh dengan krisis di berbagai bidang kehidupan. Gereja juga mengalami krisis iman dililit takhayul-takhayul. Muncul juga berbagai tawaran untuk keluar dari krisis tersebut, termasuk tawaran filsafat dan ideologi. "Kekafiran" yang dimaksud bukan hanya terbatas pada agama suku dan leluhur yang dianggap paling rendah oleh para ahli ilmu agama-agama yang lama.

"Kekafiran" tidak hanya berhubungan dengan kepercayaan magis, tetapi termasuk juga sikap manusia modern yang menjadikan alam, suku, bangsa, ideologi, sistem politik, ekonomi, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sumber keselamatan. "Kekafiran" juga termasuk keyakinan yang memutlakan sistem dan ajaran-ajaran agama sebagai jalan keselamatan. Malah, "Kekafiran" juga memasuki gereja yang sering mengandalkan kekuasaan para pejabat yang makin menyingkirkan kuasa Kristus.

Karena itu, " Kekafiran" dapat didefinisikan sebagai cara berpikir dan bertindak yang menyebabkan manusia tidak lagi menyembah Tuhan yang sejati dan tidak lagi mengasihi sesamanya dengan segenap hati, jiwa dan akal Budi. Bukankah hati, jiwa dan akal Budi adalah aspek penting dalam membangun spritualitas menggereja kita yang kontekstual Calvinisme yang menjunjung tinggi kemahakuasaan Allah kehidupan manusia dan kebebasan yang bertanggungjawab. Semoga. ("")

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.